Journal PhD Bunda: Try to Survive my PhD

Akhirnya saya ikutan #Tanoschallenge! yang seliweran di grup WA @1minggu1cerita. Akhirnya saya juga tau singkatan Tanos alias Tantangan Naon Sih asliiii ngakak. Pas! tantangannya kali ini tentang membaca 15 menit saja setiap harinya. Saya pernah baca sebuah artikel yang menampilkan data bahwa menyediakan waktu khusus beberapa menit setiap hari untuk membaca buku, terutama sebelum tidur (bukan membaca pada layar ya) merupakan salah satu cara stress relief. Nah…untuk menjaga kewarasan sekaligus menambah wawasan dari hasil baca, ga ada salahnya nyemplung juga di Tanos Reading Challenge. Walaupun saya tidak mengikuti syarat yang telah ditentukan panitia untuk menuliskan insight dari beberapa halaman buku yang dibaca perhari di laman Instagram pribadi, tapi sebenarnya saya tetap baca kok hehehe dan saya bagikan saja lewat blog ya biar lebih leluasa. Buku yang dibaca saat ini judulnya How to Survive Your PhD ditulis oleh Jason R. Karp, PhD. Buku tersebut hadiah dari Ayah yang didapat sepulang dari toko buku loak di simpang stasiun Naksongdae. Ya kok yaa beliau pengen banget saya baca dan memang sepertinya saat ini butuh (ya gimana sih Bu…Anda harusnya baca buku beginian sebelum memutuskan untuk lanjut sekolah…maklum kemarin-kemarin masih di tahap denial). Sesuai judulnya ya, buku ini memberikan gambaran hal-hal apa saja yang perlu direnungkan dan pahami sebelum memutuskan melanjutkan PhD dan gambaran hal-hal yang terjadi selama perjalanan program tersebut. Saya baru selesai memahami chapter pertama dan cukup banyak insight yang saya ingin bagikan sekaligus curcol tipis-tipis.

What is your strong why to pursue PhD?

Chapter pertama berhubungan dengan niat dan grand why menuju lanjut sekolah (wabilkhusus PhD). Diharapkan niat ini memang betul-betul keluar dari dalam diri sendiri yaaa bukan karena suatu keadaan (contoh: mau PhD karena ga suka dikomen lulusan S2 kok di rumah aja..udahlah belajar lagi aja. Lalu nyemplung saja tanpa persiapan. Bencana.. jangan ya Bu…). Biasanya orang yang lanjut PhD karena sudah atau ingin jadi akademisi sehingga butuh menempuh pendidikan doktoral, tapi ada juga yang emang willingness dia saja for the pursuit of knowledge. Menurut buku tersebut, ini beberapa niat yang biasanya diutarakan :
  • for the pursuit of knowledge 
  • belum siap terjun ke dunia nyata
  • seneng ngeriset
  • buat syarat jadi dosen dan professor
  • untuk peluang professional yang lebih baik ke depan
  • ga mau kerja (padahal PhD is a cheap labor ya maksudnya kerja juga)
  • biar bisa nabung/ alasan finansial (tujuan agar cuan sebetulnya tujuan sesat! karena PhD student mostly dibayar dibawah UMR ga sebanding dengan kerja kerasnya terutama yang di negara-negara romusha)

I have decided and still wanna pursue PhD. What’s next?

Kumpulkan data, data, data untuk mempersiapkan segala hal, ya skill, knowledge, mental, pun keluarga jika diboyong bersama. Gather all information, yang paling dasar dulu deh bagi yang polos-polos pisan, kurang pengalaman, dan tidak terikat pada institusi akademik apapun (yang katanya emang suka belajar for the pursuit of knowledge #ngok).
  • Apa bedanya S1, S2 dan program doktoral?
  • Apa betul kamu butuh atau hanya ingin serta nafsu belaka? apa harus jalannya dengan menempuh PhD? adakah kursus online yang menyediakan kebutuhan tersebut?
  • Kompetensi dasar apa yang perlu dimiliki sebelum ke jenjang doktoral. Tulis… lalu petakan kemanakah saya harus meningkatkan kompetensi tersebut ? kapasitas atau kompetensi apa yang saat ini dimiliki ? skill yang dimiliki saat ini yang membuat percaya diri (based on data ya). Misal : cukup menguasai meta-analysis karena selama 2 tahun S2 melakukan penelitian dengan metode meta-analisis.
  • Take time pisan untuk memikirkan research interest kita, general hingga spesifik. Coba tuliskan. Nah kalo banyak banget yang tertulis berarti kita belum sepenuhnya fokus. Menurut buku ini makin mengkrucut makin baik. Dengan tau research interest kita secara general dan spesifik, akan mempermudah kita mencari supervisor yang sejalan.
  • Mengenal kondisi dan kebutuhan diri. Misal saat ini kamu adalah seorang ibu beranak dua batita dan balita mau lanjut PhD. Apa betul kamu butuh lanjut di LN? kalau topik riset di dalam negeri sudah cukup dengan mempertimbangkan kebutuhan diri, lebih baik di DN saja. Kalau di LN memang akan mendapat pandangan lain dalam hidup, tapi tentu effort-nya akan jauhhhhhhhh lebih besar. Baik di LN atau di DN sebenarnya punya kelebihan, tantangan, atau kesulitan masing-masing. Analisis terlebih dahulu lah SWOT masing-masing based on kebutuhan kita tadi.
  • Cari supervisor, cari universitasnya, cari negaranya. Cari supervisor based on research interest, baca seluruh papernya dan pahami metode apa saja yang biasa dilakukan. Apakah bisa sebelum berangkat kita meningkatkan basic skill tersebut ? atau dari awal langsung bilang saja bahwa ga expert tapi punya willingness besar (biar ga overexpectation pihak yang menerima #curcol). Pilih lokasi juga penting dan kumpulkan segala informasi mengenai negara-negara yang masuk dalam rencana. Kalau sekiranya ga suka belajar bahasa Korea, ga seneng nonton drakor, ya janganlah menyusahkan diri dengan milih Korsel untuk menjadi aktor real drama Korea #curcoltipislagi. Pilih lokasi mau LN atau DN, kemudian di universitas/ institusi riset mana? Yang terkenal banget dan research area kita-nya juga bagus tentu high risk high return. Yang terkenal banget juga belum tentu bagus. Memang sih universitas di negara maju biasanya fasilitas yang disediakan sangat mendukung untuk perjalanan belajar kita nanti. Kalau dibuku tersebut disarankan setidaknya pernah kesana biar merasakan kira-kira cocok tidak sama lingkungannya, walau kunjungan singkat dan  jangan lupa untuk melihat perpustakaannya juga. Jika memungkinkan, kepo-in juga work ethic si calon supervisor dan anggota lab-nya (biasanya ada di lab official website).
  • Sudah dapat lampu hijau lalu apa? Briefing diri! pelajari kultur tempat yang mau dituju. Briefing kepada diri segala hal yang bisa terjadi ketika selama studi nanti. Banyak cari informasi mengenai kisah orang-orang yang telah atau sedang menjalani (jangan sukanya doang tapi dukanya juga). jika membawa serta keluarga, banyak diskusi, lakukan briefing dan role play terutama ke anak. Briefing itu menguatkan peta mental kita.

Saatnya Curhatttt !

Ketika zaman S1 di kosan Dago, saya masih ingat pernah menempel impian ingin S3 before 30 dan masyaAllah Allah Maha Baik, terkabul. Tidak pernah terbayang akan menjalaninya di Seoul dan tidak  pernah terlintas juga bakal lanjut sekolah di universitas yang sering disebut di K-drama. Antara sebuah nikmat kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, namun juga sebuah ujian. Culture shock, post-partum condition, underdeveloped skill hingga dikritik nyelekit pisan dari seorang senior bawa-bawa personal matters cukup membuat saya merasa betul-betul nyungsruk ke dasar laut. Alhamdulillah dari kepahitan ini adalah sebuah nikmat dari Allah karena jadi makin sadar menjadikanNya satu-satunya sandaran dan mungkin cara Allah menegur saya agar berubah lebih baik.
I followed my heart to pursue study but I didn’t take my brain with me. LOL.
Saya akui saya terburu-buru memutuskan sebuah keputusan yang membutuhkan komitmen yang besar sekeluarga. Ketika suami bilang coba pikirkan lagi, ndilalah harusnya saya tuliskan dan buat roadmap bukan hanya di pikiran. Jika kita visualisasikan pikiran kita dalam bentuk tulisan sebenarnya itu sangat membantu mengurai benang2 kusut dalam pikiran dan menemukan celah-celah yang perlu dicari lagi informasinya dan didiskusikan. Terburu-buru mengambil keputusan karena niat saya yang mungkin kurang bersih, kurangnya sarana belajar dan berkembang untuk jadi akademisi ketika jadi asisten akademik, kesombongan untuk tidak mengakui kelemahan, kesombongan mengandalkan diri sendiri bahwa pasti bisa lah PhD ini padahal kondisi lagi hamil besar tanpa memperhitungkan banyak hal, hingga sangat kurang briefing diri dan mengumpulkan semua informasi terkait keberlanjutan studi PhD terutama di negeri ginseng ini. Saya akui juga jika saya keliru memanage diri beradaptasi di negara dengan kultur kental seperti Korea Selatan. All of these akhirnya membuat saya jatuh pada mental health problem and I realized it. I am okay to not be okay. Alhamdulillah hikmah ikutan seminar-seminar parenting sebelum saya memutuskan berangkat sekolah, saya diberikan kekuatan berusaha untuk tidak melampiaskannya pada anak, tapi anak-anak dan suami malah menjadi sumber kekuatan. Saya mengandalkan kekuatan pribadi, sombong ke Tuhan sendiri padahal cuma Allah-lah yang memberikan manusia kekuatan. Jarak waktu ketika pengumuman hingga berangkat sangat singkat, saya tidak bisa menunda, kondisi hamil, ketakutan kehilangan kesempatan dan kondisi serba mepet lainnya. Setelah saya renungkan ini bentuk ketidak percayaan kepada Allah yang mengatur segalanya dan tidak mendengar serta memahami diri. Saat ini masih proses trauma healing dan membangkitkan kembali self-esteem that we are human, we are living in this world have own mission, and we are valuable enough. I thank Allah that still give me strength until so far. Pengalaman mencari ilmu ini semoga menjadi perjalanan semakin dekat dan mengagungkan Allah. PhD hanyalah gelar, ijazah hanyalah kertas, lulus pun saya belum tentu, bersiap saja sama rencana Allah yang mungkin tidak sejalan dengan rencana kita, namun semoga proses dalam menjalaninya menjadi sebuah kepantasan untuk bertemu Allah. Bukankah saya selalu minta jalan yang lurus? jalan yang lurus ternyata berliku, menanjak, kadang menukik tajam. layaknya bagian dari hidup, every PhD journey is unique. Bagi para ibu yang ingin lanjut sekolah dan setelah itu ga tau dimanfaatkan untuk apa, don’t worry. I am here to support. Keep this dream alive, sama-sama kita bersihkan niat dan ajukan proposalnya ke Allah. Semoga Allah ridho dan membanjirinya dengan keberkahan. CALS SNU, 2020/11/19

6 thoughts on “Journal PhD Bunda: Try to Survive my PhD

  1. Semangat mba untuk PhDnya.
    Kayanya lingkungan di Korea hampir sama dengan di Jepang nih, terutama dibagian “di kritik nyelekit pisan” hahaha. Saya pun dulu juga sempat mengalami nyungsruk ke dasar laut, untungnya kemudian menemukan coping mechanism yang tepat, dan akhirnya tidak terlarut ke dalam depresi 😉

  2. Halooo kak, ini pertama kali aku mampir ke blog ini. Waah keren yaa kakak Udah bisa PhD sebelum 30 yaa, di LN pulaa.
    Btw, aku jd sedikit pengen cerita. Aku ditawarin dosen pembimbingku untuk lanjut S2 ke LN. nanti dibantu , katanya.
    Akhirnya, aku tolak sih ajakan saat itu. Alasannya simpel, aku bilang S-1 aja pusing. Apalagi S-2 wqkwk. Saya belum siap, pak! ._.

Leave a comment