My Own Korean Drama

Bismillahirrahmanirrahiim

Tenggat waktu manuskrip kedua sudah di depan mata, 27 September!. Perasaanku semakin tidak karuan. Belum lagi ada pengumuman terbaru mengenai jadwal pendaftaran sidang akhir yang mulai dibuka bulan depan. Jujur aku tidak siap untuk maju, terlalu mepet. Aku belum menulis sama sekali, walaupun hasil penelitian untuk disertasi ini sudah dipublikasikan. Sebenarnya aku tinggal copas dari publikasi, dimodifikasi dan ditambahkan. Eh tapi, aku belum buat presentasi untuk sidang, belum belajar juga untuk siap menjawab pertanyaan, harus latihan juga kan.. masih banyak!. Amanah keluarga tidak bisa ditaruh dan diabaikan dulu!.

Astagfirullah…

“Minta tolong sama Allah, memang kita ga akan kuat kok, Ngie…selalu ada jalan, selalu ada pilihan. Semua yang terjadi dan akan terjadi itu sudah ditakar Sang Maha Teliti.”

Inhale exhale…

Batinku setiap kali aku overthinking, sambil menepuk-nepuk lembut dada.

Aku menatap rintik-rintik hujan pagi ini yang membasahi jendela bus, sambil mensyukuri segala hal yang sudah terjadi selama perjalanan kurang lebih hampir 5 tahun di Korea Selatan.

Thank you, dear myself, biidznillah you still hang in there.

Setiap fase kehidupan ada etape tantangan berbeda-beda. Let me tell you story one of my biggest challenge so far, yaitu membuktikan perkataan Imam Syafii tentang merasakan pahitnya menuntut ilmu. Tentu ini akan membuka kembali memori yang kadang menganggu.

Memory can reopen, wound can resurface

The road we walk has demons beneath

—Mycroft Holmes di serial Sherlock Holmes BBC “The Final Problem”

Apa yang terbayangkan ketika akan belajar lagi? Wah seru ! aku membayangkan curiosity yang akan terpenuhi, belajar tentang tubuh manusia dan penyakit, mencoba banyak hal baru, eksperimen dengan alat-alat yang canggih, diskusi yang terbuka, kolega-kolega yang suportif, konferensi sambil jalan-jalan sekaligus networking yang memantik semangat. Tentu tidak lupa keluarga. Sempurna ya khayalannya? Realitanya berbanding terbalik. Tahun-tahun yang kubayangkan seperti mimpi di atas buyar dan berganti pada fase-fase aku menyelami diri lebih dalam lagi, membasuh luka-luka yang mungkin sebelumnya belum pernah dilihat dan diobati, belajar memahami betapa beragamnya manusia, dan belajar menentukan pada apa yang benar-benar dibutuhkan diri ini, bukan sekadar keinginan (apalagi duniawi semata).

Hentakan pertama di hari pertama aku masuk lab.

Aku datang dan menyapa dengan ramah walaupun dengan berbahasa Inggris. Aku kira, Korea Selatan yang maju pesat ini, sudah welcome ke foreigner. Alhasil, hari pertama sukses membuat aku berpikir dan merasa terancam, I think I come into the wrong place. Semua hanya menoleh dan menatapku dari atas sampai bawah dan kembali memalingkan muka, sibuk dengan urusan masing-masing tanpa peduli aku anak baru yang butuh dirangkul.

Pernah beberapa kali aku ditinggal makan siang karena keengganan untuk berbahasa Inggris, aku yang belum belajar bahasa Korea, dan ribetnya membawa diriku yang ga bisa makan karena aturan agama. Aku jadi belajar dengan kesendirian, namun tetap aware. Ternyata, it is absolutely okay. I still can survive until now.

Hentakan kedua

Ini salah satu hentakan yang tak akan terlupakan yaitu dari senior yang pada suatu siang memanggilku ke ruangan. Ia mulai dengan mengkritisiku bahwa aku anggota lab yang sedang hamil dan kurang berguna. Deg! rasanya tak karuan. Hati mulai nyeri ketika ia membicarakan tentang orang yang beragama yang ia kenal banyak melakukan keonaran, aku yang level-nya masih di bawah mereka karena dari negara kurang berkembang. Nyeri ya. Pulang-pulang aku menceritakan ke teman sesama Mamah Gajah dan menangis sejadi-jadinya.

Besoknya aku mengajukan surat pengunduran diri dari lab, aku katakan kepada profesor jika berhubungan dengan performa personal, aku akan terima dan berusaha memperbaiki. Namun jika berhubungan dengan penghinaan terhadap agama dan negara, aku lebih baik mundur. Profesor menahanku dan akhirnya mencoba mendamaikan kami. Sulit untuk masuk ke lab setelah kejadian itu. Aku harus tetap bersikap profesional karena professor tidak mau tau, aku tetap harus mengirimkan data. Sedangkan untuk nge-lab kalau ada orang ini, rasanya sakit sekali. Aku pelan-pelan mencoba memaafkan dengan mengingat kebaikan-kebaikannya, hingga akhirnya orang tersebut diterima post-doc di salah satu universitas di Amerika. Setidaknya aku tidak pernah lihat wajahnya lagi di hari-hari ke depan.

Kejadian itu mengenalkan aku dengan psikolog hingga psikiater. Terserah dengan kata orang jika aku ini lemah, aku hanya perlu menyelamatkan jiwaku. Di sesi konseling aku diajak menggali diri, apa perasaanku setelah kejadian itu? Sebenarnya aku merasa malu dan merasa tidak bisa menjadi representasi agama dan negara ku sendiri. Ya Rabb, semoga Allah mengampuniku.

Hentakan-hentakan berikutnya ya dari professor sendiri. Aku tau maksudnya baik, hanya tidak terbiasa. Sudah tak terhitung aku mendengar perkataan,

“Data-data ini sampah, tidak berguna”

“Kamu tidak profesional, kamu lambat belajar dan paham.”

Hampir di tiap diskusi aku akan dibantai, mau data jelek, mau data bagus, mau yang gagal, mau yang berhasil, jangan harap mendengar kata-kata apresiasi, kata-kata menyemangati. Disitu aku belajar ada tipe orang yang menginginkan kita untuk memaksimalkan apa yang kita miliki dengan menekan sisi lemah seseorang. Disitulah tantangannya, untuk belajar fokus hanya untuk Allah. Tidak untuk pujian makhluk.

Suatu hari professor marah besar karena tikus-tikus lab tidak melahirkan. Siapa yang bisa mengontrol tikus agar bisa hamil? Kami paham anak-anak tikus sungguh berarti untuk eksperimen, tapi respon marah besar itu yang sulit aku terima. Siang itu, pas sekali dengan jadwal giliran aku dan lab manajer yang makan siang bersama prof. Di sana ia dengan nada marah berkata,

“Kamu tuh kalau sudah ga punya lagi keinginan buat belajar, curiosity in research, ya keluar saja. Saya juga dulu punya anak didik PhD. Dia juga hamil dan punya bayi. Dia memang tidak selesai PhD-nya di tempat saya, tapi project-nya kelar. Suaminya ada di Amerika, dia single parent di Korea. Suaminya sibuk tidak seperti suami-mu“.

Mendengar itu aku naik pitam,”maksudnya apa suamiku tidak sibuk? Si senior ini orang lokal? Kalau orang lokal ya case closed ga usah dibandingin! barrier-nya berbeda”.

Aku meluapkan emosi ku ke suami sambil menangis.

Suamiku hanya bisa menenangkan dan berkata “He knows nothing. Bertemu-ku saja tidak pernah. Apa haknya menghakimi aku tidak sibuk?”

Tiga hari aku kepikiran sejak kejadian ini dan akhirnya aku memutuskan mengajukan resign (lagi). Dari situlah aku berbicara dari hati ke professor. Aku sebutkan usaha-usaha ku untuk mengejar ketertinggalanku, aku ke psikiater dan psikolog untuk mengobati luka-ku. Tidak perlu diapresiasi. Aku hanya ingin mengabarkan saja bahwa setiap orang di dunia ini berproses untuk menjadi lebih baik. Mungkin progresnya tidak langsung terlihat tapi ada.

“Jadi kamu pengen proses belajar ini banyak bahagianya. It is impossible

“Maksud saya, saya tau akan lelah, tapi lelah yang bahagia. If you know that feeling than you know what I mean

“Kamu mau saya mengapresiasi kamu padahal fakta nya kamu jelek?”

“Tidak.. saya tidak perlu.. kita saling menghargai saja. Terimakasih telah sabar menerima kekurangan saya.

“Saya memang sulit meregulasi emosi saya yang meledak-meledak”

Walau tanpa ucapan maaf sekalipun, tapi aku sangat mengapresiasi pengakuan akan kelemahan beliau. aku tetap menghormatinya sebagai guru. Pernahkan aku mencoba pindah lab? Ya pernah, tapi aku mentok dengan regulasi beasiswa yang tidak bisa pindah ke lab lain. Aku hanya ingin mensyukuri rezeki beasiswa ini dengan berusaha menamatkan perjalanan ini.

Babak belur memikirkan omongan orang dan lupa untuk fokus mengejar ilmu. Harusnya energiku habis untuk belajar, memikirkan eksperimen apalagi untuk membuktikan hipotesis, sharing ilmu, dan lain-lain. Aku malah lebih banyak berperang dalam pikiran, lebih banyak menghabiskan waktu mempertanyakan apakah keputusan aku ini tepat? mengapa aku memilih di sini ? memikirkan hal-hal yang tidak dapat aku kontrol, tapi aku pun tak kuasa keluar. Aku seperti terjebak dalam situasi ini. Sepertinya ada satu rahasia yang Allah ingin aku pahami, tapi aku belum paham dan menyingkap sepenuhnya. Aku harus percaya takdir ini baik di mata-Nya.

Akankah aku bisa menyelesaikan ini?

If Allah will, then I may finish it.

Jauh diatas sebuah gelar, bagaimana ilmu ini memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, bagi dunia dan akhirat aku nanti. Aaamiiin

Aku tulis untuk menyelesaikan tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog tentang pengalaman menghadapi tantangan terbesar dalam hidup.

7 thoughts on “My Own Korean Drama

    1. Teh Yangi, salut dan peluk dari jauh. Suka sama quote-nya dan memang memikirkan perkataan orang lain paling menguras energi.

      Anyway, ada temenku orang Jerman, udah 3 tahun tinggal di Indonesia, habis liburan ke korsel. Begitu sampai Korsel, dia senyum ke orang lewat sambil angguk kepala dan shock berat kenapa hanya dapat balasan tatapan dingin penuh curiga. Pantes Indonesia terkenal ramah orangnya, senyum angguk-angguk dimana saja😂

  1. Luar biasa perjuangan menuntut ilmu itu. Kadang suka mengira dapat beasiswa maka artinya sudah berhasil. Ternyata itu baru jadi gerbang untuk tantangan-tantangan selanjutnya yang bisa jai jauh lebih parah. Semangat Yangie!!!

  2. Teh Yangie, semangat yaaaa. Sehat-sehat, lancat, sukses semuanya. Semoga kesabaran dan usaha teh Yangie bisa jadi jalan syiar Islam dan promo Indonesia di sana. Peluuuk 🤗

  3. Teh Yangie, kok saya sedih dan kesal ya mbacanya. Semoga Teh Yangie dilimpahkan kekuatan dan kesabaran serta semangat untuk mencari ilmu. 🤲

    Saya jadi ingat, teman saya ada yang lanjut S2 di Seattle, di sana dia bertemu dengan profesor dari Jerman, dan sedikit mirip dengan pengalaman Teteh, hanya yang ini terlihat jelas kalau orangnya rascist. Saat saya diceritain, sedih rasanya.
    ***

    Eh ndilalah si senior itu pindah ke AS ya Teh Yangie, siapa tau ketemu sama profesor Jerman itu 😅. Dan kena ‘ulah’ sang profesor tersebut 🤭
    ***

    Bismillah, pasti bisa Teh Yangie. What doesnt kill you makes you stronger.

  4. Duuuh, peluk Teh Yangie. Kalau itu terjadi padaku, si tukang masukin ke hati segala omongan orang, pastilah udah nangis-nangis darah dan nggak lanjut sekolah.
    Teteh tough banget. Tetap semangat ya!

Leave a comment